Kraton Yogyakarta

Selasa, 20 Maret 2012

Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.

Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.

Bangunan Kraton Yogyakarta sedikitnya terdiri tujuh bangsal. Masing-masing bangsal dibatasi dengan regol atau pintu masuk. Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan. Kraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Masing-masing alun-alun berukurang kurang lebih 100×100 meter. Sedangkan secara keseluruhan Kraton Yogyakarta berdiri di atas tanah 1,5 km persegi. Bangunan inti kraton dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar (1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah Timur Laut kraton. Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di sebelah Barat Daya. Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah Barat. Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah Selatan. Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah Timur. Dalam benteng, khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Keempat sudut benteng dibuat bastion yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh.

Penjaga benteng diserahkan pada prajurit kraton di antaranya, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, dan Prajurit Bugis. Prajurit Jogokaryo mempunyai bendera Papasan dan tinggal di Kampung Jogokaryan. Prajurit Mantrijero dilengkapi dengan Bendera Kesatuan Purnomosidi dan tinggal di Kampung Mantrijeron. Prajurit Bugis yang berbendera Kesatuan Wulandari tinggal di Kampung Bugisan.

Masa pemerintahan Kraton Yogyakarta dimulai pada periode
Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono) memerintah tahun 1755-1792, Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memerintah tahun 1792-1812, Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin tahun 1812-1814, Sri Sultan Hamengku Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah tahun 1814-1823, Sri Sultan Hamengku Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah tahun 1823-1855, Sri Sultan Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah tahun 1855-1877, Sri Sultan Hamengku Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah tahun 1877-1921, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah tahun 1921-1939, Sri Sultan Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin tahun 1940-1988 dan Sri Sultan Hamengku Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 – sekarang.

Pada jaman modern sekarang ini keberadaan Kraton Yogyakarta masih memberikan kontribusi nyata kepada Republik Indonesia. Pada masa awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan HB IX menawarkan diri memindahkan ibukota Jakarta ke Yogyakarta. Dengan mengambil resiko besar Sri Sultan HB IX menjadikan Yogyakarta beserta masyarakatnya berhadapan langsung dengan Militer Belanda yang ingin menjajah kembali. Bersama rakyat Yogyakarta Ngarso Dalem IX berjuang mempertahankan eksistensi Indonesia di percaturan politik dunia. Serangan 6 Jam di Jogja menjadi langkah jenius beliau memukul mundur pasukan militer Belanda dari tanah Yogyakarta. Keberhasilan serangan ini ditandai penyerahan kedaulatan menyeluruh bagi wilayah Republik Indonesia. Sebagai penerus perjuangan ayahandanya, Sri Sultan HB X menunjukkan jiwa kepemimpinan dalam era reformasi yang ditandai dengan berbagai kerusuhan di kota-kota besar di Indonesia. Dari kota Yogyakarta inilah Beliau bersama-sama masyarakat Yogyakarta melalui acara pisowanan ageng  mampu memberikan keteladan dengan demo besar-besaran tidak terjadi kerusuhan sama sekali. (info1jogja.blogspot.com)

0 komentar:

Posting Komentar