Kupat Tahu Magelang 21

Kamis, 29 Maret 2012

Kupat Tahu Magelang 21 yang jadi langganan para wisatawan asing ini mencoba menghadirkan sebuah menu makanan daerah yang terkonsep dengan baik sehingga selain rasanya enak, juga cocok dikonsumsi oleh semua kalangan (dewasa juga anak-anak). Proses penyajiannya yang beda itulah yang membuat penggagas Kupat Tahu Magelang 21 ini mengangkat tagline "Manisnya Pas, Kaya Rasanya" pada produk yang ia tawarkan. Kupat Tahu umumnya sayurannya digoreng, kalau disini sayuran dikukus untuk menjaga kandungan gizi pada sayuran, sehingga minim penggunaan minyak.

Kuah bumbunya pun beda, manisnya pas dibanding kebanyakan Kupat Tahu yang rasanya cenderung manis sekali. Racikan yang digunakan sekarang ini merupakan modifikasi dari bumbu Kupat Tahu yang biasa dikenal oleh masyarakat Jogja, melalui proses trial and error hingga menemukan komposisi yang pas sekarang ini. Tujuan awalnya sederhana saja, si pemilik ingin mengajak masyarakat untuk kembali mencintai makanan daerah mereka sendiri, siapa menduga pada prakteknya justru tidak sedikit kaum ekspatriat mampir untuk menikmati seporsi Kupat Tahu Magelang 21 karena diakui rasanya sesuai dengan lidah dan selera mereka. Satu porsi berisi kupat, tahu, bakwan yang dilengkapi sayuran seperti, kol, tauge, daun bawang, daun seledri kemudian ditaburi bawang goreng. Sambal disajikan terpisah.
 
Setiap harinya warung makan dengan paduan warna kuning dan hijau ini beroperasi mulai pukul 09.00-18.00 WIB. Menu yang ditawarkan tentunya Kupat Tahu Magelang 21 yang dibandrol Rp.8000,00 per porsi, cukup membayar Rp.2000,00 saja bila anda ingin menambahkan telur pada Kupat Tahu pesanan anda. Untuk minuman, anda bisa memesan teh,kopi atau jeruk yang dapat disajikan panas maupun dingin dengan harga mulai dari Rp.2000,00.

Museum Dirgantara Mandala

Selasa, 20 Maret 2012

Mungkin banyak dari kita mengetahui nama Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma, dan Marsekal Muda Anumerta Iswahjudi hanya sekedar nama bandara udara di berbagai kota yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengetahui beliau berempat secara lebih mendalam kita bisa berkunjung di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala atau Museum Dirgantara. Di museum ini, kita bisa melakukan perjalanan melewati relung masa lalu dengan melihat koleksi peninggalan sejarah perjuangan TNI AU. Dengan jumlah koleksi hampir mendekati angka 10000 kita bisa merasakan nafas perjuangan para pendiri TNI AU melalui dokumentasi berupa foto, prasasti, patung founding fathers TNI AU, model pakaian dinas serta tidak ketinggalan pula wahana diorama.  Museum ini juga memiliki koleksi peralatan perjuangan mulai dari beragam jenis Alutsita (Alat Utama Sistem Senjata), hingga teknologi informasi (radio pemancar dan radar).  Untuk memudahkan pengunjung dalam  melihat koleksi Museum Dirgantara ini, pihak pengelola membagi tujuh ruangan yang berbeda, antara lain Ruang Utama, Ruang Kronologi I dan II, Ruang Alutsista, Ruang Paskhas, Ruang Diorama dan Ruang Minat Dirgantara.

Museum Perjuangan TNI AU adalah cikal bakal dari Museum Dirgantara Mandala yang pertama kalinya diresmikan oleh Panglima Angkatan Udara Laksamana Roesmin Noerjadin, pada tanggal 4 April 1969 di Markas Komando Udara V Tanah Abang Bukit Jakarta.  Perpindahan museum dari Jakarta menuju Yogyakarta didasarkan pada faktor sejarah perjuangan kota Yogyakarta pada periode 1945-1949 sebagai pusat latihan bagi Taruna Akademi Udara. Museum Dirgantara Mandala adalah gabungan dari Museum Perjuangan TNI AU dengan Musem Ksatrian yang sudah ada di Yogyakarta. Peresmian kedua museum ini dilakukan oleh Marsekal TNI Ashadi Tjahjadi menjadi Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala pada tanggal 29 Juli 1978 yang bertepatan dengan peringatan Hari Bhakti TNI AU. Perpindahan museum dari Jakarta ke Yogyakarta masih menyisakan permasalahan tempat untuk menyimpan koleksi Alutsista yang ada, maka Museum Dirgantara Mandala berpindah untuk ketiga kalinya yaitu di gudang bekas pabrik gula di Wonocatur di kawasan Landasan Udara Adisutjipto. Gedung museum baru itu kemudian diresmikan pada tanggal 29 Juli 1984 oleh oleh Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Sukardi.

Memasuki kawasan Museum Dirgantara, para pengunjung akan mendapati sambutan beberapa pesawat tempur dan cargo yang dipajang di halaman museum. Pesawat tempur tipe A4-E Skyhawk menjadi salah satu dari tim penyambutan para pengunjung yang dipajang di muka gedung museum. Setelah memasuki ruang utama, para pengunjung akan disambut oleh empat patung tokoh perintis TNI-AU, yaitu Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Marsekal Muda Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma, dan Marsekal Muda Anumerta Iswahjudi.

Sebagai menu pembuka kunjungan, para pengunjung pertama kalinya memasuki Ruang Kronologi I. Di ruangan ini pengungjung akan mendapatkan informasi sejarah awal pembentukan angkatan udara di Indonesia. Berbagai peristiwa terdokumentasi di ruang ini, Penerbangan pertama pesawat merah putih pada 27 Oktober 1945 sebagai serangan balasan terhadap Belanda, berdirinya Sekolah Penerbangan Pertama di Maguwo pada 07 November 1945 yang dipimpin oleh Adisutjipto, berdirinya TRI Angkatan Udara pada 9 April 1946. Masih dalam satu ruangan yang sama juga dipamerkan berbagai peralatan radio dan foto penumpasan berbagai pemberontakan di tanah air, seperti pemberontakan DI/TII, Penumpasan G 30 S/PKI, serta Operasi Seroja. Pada ruangan selanjutnya, dipajang berbagai jenis pakaian dinas yang biasa digunakan oleh para personel TNI-AU, meliputi pakaian tempur, pakaian dinas sehari-hari, hingga pakaian untuk tugas penerbangan.

Memasuki ruangan dengan rancang bangun hangar pesawat, para pengunjung disuguhkan dengan koleksi  Alutsista atau Alat Utama Sistem Senjata yang pernah digunakan oleh TNI-AU. Dari pesawat tempur pesawat tempur dan pesawat angkut, model mesin-mesin pesawat, radar pemantau wilayah udara, serta senjata jarak jauh seperti rudal. Berbagai macam koleksi pesawat yang diproduksi dari berbagai negara mulai dari pesawat buatan Amerika, Eropa hingga buatan dalam negeri.  Dari berbagai koleksi yang dipamerkan terdapat salah satu jenis pesawat tempur seri P-51 Mustang buatan Amerika Serikat. Pesawat ini memiliki sejarah panjang di dunia kedirgantaraan di Indonesia. Digunakan dalam berbagai operasi menjaga integrasi negara dalam penumpasan pemberontakan DI/TII, Permesta, Operasi Trikora dan Dwikora serta penumpasan G 30 S/PKI. Pesawat lainnya yang tak kalah menarik adalah pesawat buatan Inggris, namanya Vampire tipe DH-115. Pesawat ini merupakan pesawat jet pertama yang diterbangkan di Indonesia pada tahun 1956 oleh Letnan Udara I Leo Wattimena.

Salah satu koleksi yang sangat penting dalam sejarah cikal bakal TNI AU adalah replika pesawat Dakota C-47 dengan nomor seri VT-CLA yang ditembak jatuh oleh Belanda di daerah Ngoto, Bangunharjo, Sewon Bantul pada tanggal 29 Juli 1947. Jatuhnya pesawat tersebut menewaskan para pionir Angkatan Udara, antara lain  Komodor Muda Udara Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrahman Saleh, serta Opsir Muda Udara I Adisumarmo Wirjokoesoemo.
Museum ini buka tiap hari Minggu hingga Kamis pukul 08.00?13.00 WIB dan hari Jumat sampai Sabtu pukul 08.00-12.00 WIB. Sedangkan pada hari Senin dan libur nasional tutup.

Museum Perjuangan Yogyakarta

Banyak jalan menuju Roma, itulah pepatah kuno yang sampai sekarang menjadi motivasi bagi semua orang yang ingin meraih kesuksesan dengan cara yang kreatif demi satu tujuan. Di awal abad masehi kota Roma adalah ibukota dari Bangsa Romawi yang memiliki sejarah besar dan menjadi salah satu titik adikuasa selain Bangsa Persia. Banyak sejarah sebuah bangsa atau kaum sesudahnya menggunakan panji-panji kebesaran Romawi untuk mengangkat kewibawaan dihadapan rakyat dan musuh-musuhnya.

Museum Perjuangan Yogyakarta sebagai museum yang menyimpan serta menceritakan sejarah besar kota Yogyakarta tidak ketinggalan pula mengikuti panji-panji kebesaran Bangsa Romawi.  Bangunan museum ini cukup unik, karena berbentuk Ronde Tampel yang merupakan arsitektur gaya Romawi Kuno.

Museum Perjuangan Yogyakarta mengkoleksi benda-benda sejarah perjuangan dengan berbagai bentuk mulai dari patung, relief, foto serta peralatan sehari-hari pada jaman tersebut. Koleksi dari museum ini diperkirakan lebih dari 200 buah yang diambil dari zaman perjuangan periode tahun 1908-1949. Keunikan dari museum ini, pada dinding luarnya tertempel banyak relief yang menjadi ciri khas dari museum ini.  Berbagai macam peristiwa sejarah perjuangan bangsa, mulai dari berdirinya Budi Utomo, Muhammadiyah, Taman Siswa dan Universitas Gadjah Mada ada disini semua. Tidak ketinggalan pula patung dari para pahlawan nasional ikut menghiasi bagian luar dari bangunan museum ini. 
Museum ini termasuk bangunan baru yang diresmikan paska perang kemerdekaan yaitu pada tanggal 29 Juni 1961 dengan peletakan batu pertama oleh Sri Paku Alam VIII. Dalam perjalanannya museum ini sempat mengalami masa surut cukup lama, dua tahun setelah peletakan batu pertama sampai tahun 1969, museum ini mengalami kesulitan dalam hal operasional sehingga akhirnya ditutup untuk umum. Pada kenyataannya museum ini tetap mengalami kesulitan operasional berlanjut sampai tahun 1974 sebelum kembali beroperasional tahun 1980. Museum Perjuangan Yogyakarta ini mempunyai fasilitas pendukung bagi pengunjung museum diantaranya perpustakaan, auditorium, tempat parkir, dan toilet.

Pada tahun 2008, Museum Perjuangan Yogyakarta ini melakukan perubahan dengan menjadikan ruang bawah tanah menjadi Museum Sandi Indonesia. Yang menjadi latar belakang dari pendirian Museum Sandi Indonesia  adalah menampilkan dan memelihara koleksi benda-benda sandi yang bernilai sejarah serta menambah pengetahuan wawasan dan pengunjung mengenai sejarah persandian di Indonesia dan mancanegara.  Sebagai wahana menumbuhkembangkan rasa nasionalisme dan perjuangan melalui media persandian, dan media pembelajaran mengenai ilmu persandian.

FASILITAS MUSEUM SANDI
Museum Sandi menyediakan berbagai fasilitas, antara lain :

Pusat Informasi
Di ruang ini pengunjung mendapat informasi (gambaran) awal tentang apa yang dapat dilihat dan lakukan di museum. Informasi yang tersedia antara lain alur cerita persandian, tayangan multimedia tentang museum, dan denah museum.

Ruang Pameran
Merupakan ruangan yang disusun berurutan mengikuti pola alur pengisahan yang telah ditentukan. Ruang pamer ini merupakan bagian utama dan penting dari Museum Sandi. Ruang pamer ini dibagi menjadi beberapa counter yang dilengkapi fasilitas pameran yang bentuk, jenis dan materi-nya disesuaikan dengan tema cerita yang disajikan. Ruang pamer ini menyajikan tampilan yang relatif permanen.

Ruang/Counter Multimedia
Ruang/counter untuk menayangkan film atau animasi yang berkaitan dengan kegiatan sandi atau ilmu sandi. Pada ruang ini juga disediakan suatu sarana permainan yaitu cryptogame bagi pengunjung.

Ruang Penyimpanan dan Perawatan Koleksi
Ruang untuk menyimpan koleksi museum yang tidak di pamerkan dan sekaligus juga sebagai tempat untuk melakukan perawatan koleksi. Ruang ini didesain untuk kemudahan penyimpanan maupun pencarian koleksi dengan fasilitas rak-rak penyimpanan yang sistematis dan hemat ruang.

Ruang Pengelola/Administrasi Museum
Ruang pengelola / administrasi dibutuhkan sebagai sarana penunjang penyelenggaraan museum.

Akses menuju Museum Perjuangan Yogyakarta ini sangat mudah. Letaknya berada sangat dekat dengan pusat kota membuat lokasi mudah untuk ditemukan dan dapat diakses dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Jam buka museum yaitu untuk Selasa sampai dengan Kamis pukul 08.30-14.00, Jum'at pukul 08.30-11.30, sedangkan hari  Sabtu dan Minggu buka pukul 08.30-13.00 WIB.

Kampoeng Kauman

Sejarah terjadinya kampung Kauman menyatu dengan sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta karena kampung tersebut merupakan bagian dari birokrasi kerajaan. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 telah memecah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I mendirikan Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Paku Buwono III mendirikan Kasunanan Surakarta.

Kraton Kasultanan Yogyakarta selesai dibangun pada tanggal 7 Oktober 1756  oleh Sultan Hamengku Buwono I yang kemudian dilanjutkan pembangunan Masjid Agung yang selesai pada tanggal 29 Mei 1773.Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan, pengulu dan seluruh aparatnya disebut abdi dalem pamethaan.  Kantong kepenguluan Kasultanan Yogyakarta disebut dengan Kawedanan Pengulon yang tugasnya meliputi urusan administrasi bidang keagamaan (pernikahan, talak, rujuk, juru kunci makam Dalem Pamethaan, naib, hukum dalem, peradilan agama dan kemasjidan).


Sultan mengangkat sebanyak 15 pengulu untuk mengurusi Masjid Agung, oleh Sultan beberapa abdi dalem yang bertugas mengurusi Masjid Agung diberi tempat di sekitar masjid. Kemudian mereka membentuk masyarakat yang disebut Kauman. Kaum adalah penyebutan untuk orang yang bertugas mengurusi bidang keagamaan. Lokasi tinggal masyarakat Kauman itu hingga kini disebut Kampung Kauman


Kampung  Para Pelopor

Banyak tokoh nasional yang juga lahir di Kampung Kauman. Peletak dasar sila pertama Pancasila, Ki Bagus Hadikusumo. Beliau merubah Piagam Jakarta pada Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, selain beliau mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah  (1995-1998) M.  Amien Rais juga “terlahir” sebagai santri di kampung Kauman sebagai garda depan reformasi di Indonesia. Di sudut barat Kampung Kauman terdapat sebuah langgar peninggalan KH Ahmad Dahlan, dari langgar sinilah KH Ahmad Dahlan membidani berdirinya organisasi pendidikan kesehatan dan kemasyarakatan Muhammadiyah pada tanggal 12 November 1912.

Di kampung Kauman di belakang Masjid Agung Yogyakarta terdapat taman monumen perjuangan para pemuda kauman yang ikut berperang pada masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Monumen tersebut di beri nama Monumen Syuhadaa Fii Sabilillaah Kauman Darussalaam yang diresmikan oleh Letkol Inf Sukedi Komandan Kodim 0734 Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 1995 / 23 Rabiul Awal 1416 H. Monumen ini didirikan untuk mengingat 23 nama pemuda kauman yang bertempur melawan penjajah Jepang dan pasukan sekutu yang mengobrak-abrik Republik Indonesia.


Kampung  Kauman di Masa Sekarang

Struktur sosial kampung Kauman sekarang telah berubah lebih modern mengikuti perkembangan jaman namun sisa-sisa aroma keislaman yang kuat masih terasa tatkala kita menyusuri lorong-lorong Kauman.  Situasi yang tidak berbeda dengan dulu saat awal terbentuknya kampung Kauman.  Ditinjau dari pendekatan antropologis, masyarakat Kauman adalah masyarakat yang endogamy, artinya penduduknya mengadakan perkawinan dengan orang dari kampung sendiri dan tidak mencari jodoh dari luar kampung. Perkawinan antara keluarga para ketib (orang yang bertugas sebagai penceramah shalat Jum’at), modin (muadzin juru azan shalat), merbot  (marbut pengurus masjid yang  yang tugasnya menjadi juru bersih masjid dan mengelola fisik masjid), telah terjadi di Kauman. Perubahan sosial terjadi dimulai pada era 1960an dimana banyaknya pelajar yang tinggal sementara di Kauman menyebabkan akulturasi budaya karena mereka tidak hanya berasal dari Yogyakarta melainkan dari luar Pulau Jawa. Dampaknya orang asli kauman menikah dengan orang di luar kauman dan regenerasi berjalan lambat, putra-putri penduduk  Kauman banyak yang melakukan studi pengetahuan umum non keagamaan. Sementara di bidang kebudayaan, kurang lebih 60 tahun masyarakat Kauman mengalami perubahan seni budaya dan adat istiadat yang mencolok.  Akibat “kenakalan” KH Ahmad Dahlan kesenian shalawatan, samrohan dan dziba’an. Kesenian itu merupakan ciri khas desa-desa pesantren untuk memuja Nabi Muhammad SAW digantikan dengan instrumen musik barat, seperti accordion, organ dan piano. (Sumber: Majalah Kabare Jogja Edisi VI. 15 Nov – 15 Des 2002).

Getar Masa Lalu di Kampung Kauman

Menyusuri setiap lorong di kampung Kauman memberikan sebuah pengalaman tentang masa lalu. Bangunan-bangunan tua awal 1900 masih tersisa dan berfungsi untuk kegiatan sehari-hari.  Mushola Aisyiyah khusus perempuan ini didirikan tahun 1922 oleh KH Ahmad Dahlan. Tata cara mushola ini melakukan sholat berjamaah mengikuti waktu adzan Masjid Agung Yogyakarta. Ketika sholat dimulai salah satu jamaah perempuan tersebut menjadi imam. Dari keberadaan Mushola ini jelas menggambarkan visi KH Ahmad Dahlan tentang kesamaan gender tanpa harus melupakan kodrat seorang perempuan dalam kehidupan bersama. Aisyiyah sebagai organisasi yang mewadahi aspirasi kaum perempuan telah teruji dengan berbagai tantangan perkembangan jaman.

Museum Kirti Griya

Taman Siswa hadir sebagai salah satu organisasi pendidikan yang tetap berdiri sampai sekarang. Asam garam perjuangan telah dilalui dari berbagai era, dimulai dari jaman pra kemerdekaan sampai sekarang ini. Jejak-jejak perjuangan Taman Siswa tidak bisa dilepaskan dari sosok RM Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantoro) sebagai founding father pergerakan organisasi tersebut. Sebagai salah satu saksi perjuangan beliau, Museum Dewantoro Kirti Griya merupakan museum yang berusaha mengabadikan kehidupan dan perjuangan RM Soewardi Soerjaningrat. Museum ini menceritakan kembali riwayat kehidupan Beliau dari usia muda hingga wafat dengan segala pernak-pernik perjuangan beliau lewat dunia pendidikan.

Dibesarkan dalam lingkungan Kraton Kadipaten Puro Pakualaman, RM Soewardi Soerjaningrat tidak terbuai dengan segala kemudahan yang didapatkan pada waktu itu, Beliau merasa prihatin dengan nasib rakyat yang tidak bisa mengeyam pendidikan sampai tingkat tinggi seperti yang beliau dapatkan. Pada perkembangannya beliau melepas gelar keningratannya dan menamani dirinya dengan sebutan Ki Hadjar Dewantoro. Bersama Dr. Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo beliau mengambil langkah stategis dengan jalan mendirikan Tiga Serangkai sebagai media melawan Hindia-Belanda di bidang pendidikan dan politik.

Pengalaman berjuang dan berorganisasi tidak membuat Ki Hadjar Dewantoro mudah menyerah terhadap perlawanan dan tekanan dari Pihak Belanda yang terus  berusaha mematikan sepak terjang beliau. Dengan keteguhan dan keberanian hati, Ki Hadjar Dewantoro membentuk organisasi pendidikan bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa, salah satu karya besarnya yang mewujud nyata dan masih eksis hingga kini telah melebarkan sayapnya hingga di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Bali. Pendirian lembaga pendidikan Tamansiswa bertujuan melepaskan orang-orang pribumi dari belenggu kebodohan. Apabila kondisi suatu bangsa bodoh, maka bangsa lain dengan sangat mudah menindasnya, seperti praktik kolonialisasi oleh Hindia-Belanda di nusantara yang terjadi selama 350 tahun. Untuk mengenang jasa beliau dan memberikan semangat kepada kita semua, setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di setiap tahunnya dimana tanggal tersebut diambil dari tanggal kelahirannya.

Mengunjungi Museum Kirti Griya Dewantoro kita akan melihat sebuah biografi beliau melalui benda-benda peninggalan beliau dan foto-foto yang dipajang melalui tatacara tertentu di ruang-ruang ekshibisi museum. Wisatawan yang mengunjungi museum ini akan terkagum-kagum dengan koleksi ribuan buku milik Ki Hadjar Dewantara yang tersusun rapi di rak-rak yang terbuat dari kayu jati. Museum ini juga menampilkan beberapa karyanya yang fenomenal. Misalnya, tulisannya yang berjudul Ais Ik eens Nederlander Was atau Seandainya Saya Seorang Belanda dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een atau dalam bahasa Indonesia berjudul Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu jua? Selain itu, satu karyanya yang menumental adalah Sari Swara, yakni buku berisi tangga nada Jawa dalam musik gamelan yang telah dikonversi menjadi bentuk partitur Barat.

Jika membandingkan dengan museum di Barat barangkali wisatawan tidak akan terlalu terkesan dengan model rancang-bangun museum yang notabene adalah rumah Ki Hadjar Dewantara sendiri, namun wisatawan akan mengerti banyak bagaimana sulitnya perjuangan beliau pada ranah politik dan jurnalistik melalui lembaran-lembaran buah pemikirannya di awal abad ke-20. Museum ini menyediakan perpustakaan yang memadai jika wisatawan tertarik mendalami pemikiran Ki Hadjar Dewantara.

Benteng Vredeburg

Bangunan yang terletak tepat di seberang Istana Kepresidenan Yogyakarta, merupakan salah satu bangunan yang menjadi wisata arsitektur di Kawasan Nol Kilometer atau Jalan A. Yani, seruas Jalan Malioboro. Bangunan yang dulu dikenal dengan nama Rusternburg (peristirahatan) dibangun pada tahun 1760. Kemegahan yang dirasakan saat ini dari Benteng Vredeburg pertama kalinya diusulkan pihak Belanda melalui Gubernur W.H. Van Ossenberch dengan alasan menjaga stabilitas keamanan pemerintahan Sultan HB I. Pihak Belanda menunggu waktu 5 tahun untuk mendapatkan restu dari Sultan HB I untuk menyempurnakan Benteng Rusternburg tersebut. Pembuatan benteng ini diarsiteki oleh Frans Haak. Kemudian bangunan benteng yang baru tersebut dinamakan Benteng Vredeburg yang berarti perdamaian.

Benteng Vredeburg ini memiliki denah berbentuk persegi dan menghadap barat. Sebelum memasuki pintu gerbang utama terdapat sebuah jembatan sebagai jalan penghubung utama arus keluar masuk Benteng Vredeburg. Ciri khas pintu gerbang ini bergaya arsitektur klasik Eropa (Yunani-romawi). Hal ini dapat dilihat melalui bagian tympanium yang disangga empat pilar yang bergaya doric.Sejarah kepemilikan Benteng Vredeburg adalah milik Kasultanan Yogyakarta, tetapi atas kepentingan Belanda maka benteng ini berpindah tangan pada Pemerintahan Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur Direktur Pantai Utara Jawa. Pada saat masih berfungsi sebagai benteng, bangunan ini dikelilingi oleh parit yang berfungsi sebagai pertahanan awal dari serangan musuh. Namun sekarang parit tersebut hanya tersisa di bagian depan gerbang utama dan hanya berfungsi sebagai drainase saja.

Sampai saat ini masih kita jumpai bastion yang berada di keempat sudut benteng. Keempat bastion itu diberi nama Jayawisesa (barat laut), Jayapurusa (timur laut), Jayaprokosaningprang (barat daya), dan Jayaprayitna (tenggara).Pada bagian dalam benteng terdapat bangunan yang disebut gedung Pengapit Utara dan Selatan. Bangunan ini pada mulanya diperkirakan digunakan sebagai kantor administrasi. Berdasarkan hasil penelitian bentuk asli, bangunan yang ada merupakan bentuk asli dengan ornamen gaya Yunani masa Renaisance. Hal ini menunjukkan usianya yang relative lebih tua dan lebih dekoratif dibandingkan dengan bangunan yang lain. Dari masa ke masa benteng ini mengalami perubahan fungsi dan bentuk sesuai keadaan politik saat itu. Seperti yang dijumpai pada masa sekarang, benteng ini telah berubah fungsi menjadi museum.

Bank Indonesia Yogyakarta

Kawasan 0 kilometer bagaikan surga bagi para pecinta wisata arsitektur dan latar belakang sejarah yang menemaninya. Berjalan ke arah timur dari Gedung Istana Kepresidenan Yogykarta kita akan menemukan bangunan dengan arstitektur bergaya Belanda dengan tertulis Bank Indonesia. Sejarah bangunan Bank Indonesia Yogyakarta sedari awal difungsikan sebagai Kantor Cabang (KC) De Javasche Bank (DJB) ”Djokdjakarta” dibuka pada 1 April 1879 sebagai KC ke-8. Alasan didirikanya KC DJB untuk mengakomodasi usulan Firma Dorrepaal and Co Semarang. Presiden De Javasche Bank ke-7, Mr N P Van den Berg dan jajaran direksi menyetujui usulan itu mengingat volume perdagangan di Yogyakarta yang semakin besar. 
Melihat nilai perputaran uang dari Yogyakarta melalui KC DJB Soerakarta pada waktu itu mencapai angka 2 – 3,5 juta gulden. Sebagai kota penghasil gula, nilai produksi yang dicapai sekitar 2.580 ton/tahun setara 300.000 pikul per tahun. Cabang DJB Yogyakarta didirikan pada 1879 di atas tanah seluas 300 meter persegi. 
Tanah tempat DJB berdiri berstatus eigendom yang berarti merupakan tanah milik DJB sendiri dan bukan lagi milik Sultan Yogyakarta.

Gedung Bank Indonesia dirancang oleh arsitek Hulswitt dan Cuypers dengan menampilkan aura kemegahan arsitektural bergaya eropa. Bangunan dengan tiga lantai dengan fungsi yang berbeda di setiap lantainya. Lantai paling bawah difungsikan sebagai ruang penyimpanan bisa dilihat dari ruang khazanah yang berfungsi menyimpan uang. Ruang utama dan kasir terdapat di lantai satu, sedangkan lantai dua sebagai tempat tinggal bagi direksi dan keluarganya.
Seperti bangunan bersejarah lainnya, fungsi gedung bank ini naik turun dari awal berdiri sampai dinasionalisasikan Pemerintah Republik Indonesia tahun 1953. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 kegiatan operasional bank terhenti dan Nanpo Kaihatsu Ginko difungsikan sebagai bank sirkulasi  di Pulau Jawa. Setelah melalui masa buka tutup akibat agresi militer Belanda, KC DJB ini beroperasi kembali pada 22 Maret 1950 hingga dinasionalisasi pada 1953. Sampai sekarang masih asli bangunan Belanda. (http://info1jogja.blogspot.com)