Kampoeng Kauman

Selasa, 20 Maret 2012

Sejarah terjadinya kampung Kauman menyatu dengan sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta karena kampung tersebut merupakan bagian dari birokrasi kerajaan. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 telah memecah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I mendirikan Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Paku Buwono III mendirikan Kasunanan Surakarta.

Kraton Kasultanan Yogyakarta selesai dibangun pada tanggal 7 Oktober 1756  oleh Sultan Hamengku Buwono I yang kemudian dilanjutkan pembangunan Masjid Agung yang selesai pada tanggal 29 Mei 1773.Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan, pengulu dan seluruh aparatnya disebut abdi dalem pamethaan.  Kantong kepenguluan Kasultanan Yogyakarta disebut dengan Kawedanan Pengulon yang tugasnya meliputi urusan administrasi bidang keagamaan (pernikahan, talak, rujuk, juru kunci makam Dalem Pamethaan, naib, hukum dalem, peradilan agama dan kemasjidan).


Sultan mengangkat sebanyak 15 pengulu untuk mengurusi Masjid Agung, oleh Sultan beberapa abdi dalem yang bertugas mengurusi Masjid Agung diberi tempat di sekitar masjid. Kemudian mereka membentuk masyarakat yang disebut Kauman. Kaum adalah penyebutan untuk orang yang bertugas mengurusi bidang keagamaan. Lokasi tinggal masyarakat Kauman itu hingga kini disebut Kampung Kauman


Kampung  Para Pelopor

Banyak tokoh nasional yang juga lahir di Kampung Kauman. Peletak dasar sila pertama Pancasila, Ki Bagus Hadikusumo. Beliau merubah Piagam Jakarta pada Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, selain beliau mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah  (1995-1998) M.  Amien Rais juga “terlahir” sebagai santri di kampung Kauman sebagai garda depan reformasi di Indonesia. Di sudut barat Kampung Kauman terdapat sebuah langgar peninggalan KH Ahmad Dahlan, dari langgar sinilah KH Ahmad Dahlan membidani berdirinya organisasi pendidikan kesehatan dan kemasyarakatan Muhammadiyah pada tanggal 12 November 1912.

Di kampung Kauman di belakang Masjid Agung Yogyakarta terdapat taman monumen perjuangan para pemuda kauman yang ikut berperang pada masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Monumen tersebut di beri nama Monumen Syuhadaa Fii Sabilillaah Kauman Darussalaam yang diresmikan oleh Letkol Inf Sukedi Komandan Kodim 0734 Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 1995 / 23 Rabiul Awal 1416 H. Monumen ini didirikan untuk mengingat 23 nama pemuda kauman yang bertempur melawan penjajah Jepang dan pasukan sekutu yang mengobrak-abrik Republik Indonesia.


Kampung  Kauman di Masa Sekarang

Struktur sosial kampung Kauman sekarang telah berubah lebih modern mengikuti perkembangan jaman namun sisa-sisa aroma keislaman yang kuat masih terasa tatkala kita menyusuri lorong-lorong Kauman.  Situasi yang tidak berbeda dengan dulu saat awal terbentuknya kampung Kauman.  Ditinjau dari pendekatan antropologis, masyarakat Kauman adalah masyarakat yang endogamy, artinya penduduknya mengadakan perkawinan dengan orang dari kampung sendiri dan tidak mencari jodoh dari luar kampung. Perkawinan antara keluarga para ketib (orang yang bertugas sebagai penceramah shalat Jum’at), modin (muadzin juru azan shalat), merbot  (marbut pengurus masjid yang  yang tugasnya menjadi juru bersih masjid dan mengelola fisik masjid), telah terjadi di Kauman. Perubahan sosial terjadi dimulai pada era 1960an dimana banyaknya pelajar yang tinggal sementara di Kauman menyebabkan akulturasi budaya karena mereka tidak hanya berasal dari Yogyakarta melainkan dari luar Pulau Jawa. Dampaknya orang asli kauman menikah dengan orang di luar kauman dan regenerasi berjalan lambat, putra-putri penduduk  Kauman banyak yang melakukan studi pengetahuan umum non keagamaan. Sementara di bidang kebudayaan, kurang lebih 60 tahun masyarakat Kauman mengalami perubahan seni budaya dan adat istiadat yang mencolok.  Akibat “kenakalan” KH Ahmad Dahlan kesenian shalawatan, samrohan dan dziba’an. Kesenian itu merupakan ciri khas desa-desa pesantren untuk memuja Nabi Muhammad SAW digantikan dengan instrumen musik barat, seperti accordion, organ dan piano. (Sumber: Majalah Kabare Jogja Edisi VI. 15 Nov – 15 Des 2002).

Getar Masa Lalu di Kampung Kauman

Menyusuri setiap lorong di kampung Kauman memberikan sebuah pengalaman tentang masa lalu. Bangunan-bangunan tua awal 1900 masih tersisa dan berfungsi untuk kegiatan sehari-hari.  Mushola Aisyiyah khusus perempuan ini didirikan tahun 1922 oleh KH Ahmad Dahlan. Tata cara mushola ini melakukan sholat berjamaah mengikuti waktu adzan Masjid Agung Yogyakarta. Ketika sholat dimulai salah satu jamaah perempuan tersebut menjadi imam. Dari keberadaan Mushola ini jelas menggambarkan visi KH Ahmad Dahlan tentang kesamaan gender tanpa harus melupakan kodrat seorang perempuan dalam kehidupan bersama. Aisyiyah sebagai organisasi yang mewadahi aspirasi kaum perempuan telah teruji dengan berbagai tantangan perkembangan jaman.

0 komentar:

Posting Komentar