suasana malam |
Melintasi Jalan Suroto menuju Stadion Kridosono merasakan kesan yang berbeda dibandingkan dengan kawasan yang lain di kota Yogyakarta. Ruas jalan yang cukup besar dengan taman bunga sebagai pembagi ruas jalan, pohon-pohon besar, dan tanaman buah yang banyak terdapat di ruas jalan ini menandakan Kotabaru dirancang dengan konsep Garden City. Pembangunan kawasan Kotabaru (jaman dahulu disebut Nieuwe Wijk) tidak bisa dilepaskan adanya perubahan sosial yang terjadi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya diawal tahun 1920-an. Kemajuan di bidang industri perkebunan tebu serta meningkatnya ketertarikan mengembangkan pendidikan dan kesehatan menyebabkan jumlah orang Belanda yang menetap di kota Yogyakarta semakin meningkat. Kotabaru menjadi kawasan pemukiman alternatif selain wilayah Loji Kecil dengan fasilitas yang lengkap dari fasilitas olahraga, keagamaan sampai pendidikan.
Melintasi kawasan Kotabaru, kita tidak akan menemukan sebuah gang sempit yang biasa kita jumpai di tempat-tempat lain di kota Yogyakarta, perancangan awal kawasan ini berkonsep pola radial seperti kota-kota di Belanda pada umumnya, berbeda dengan wilayah yang lain di kota Yogyakarta masih menganut pola arah mata angin. Sebagai kota mandiri, setiap bangunan yang berada di kawasan Kotabaru memiliki aksesibilitas yang mudah untuk dijangkau, hal ini bisa dilihat dari sistem pembuatan jalan yang terstruktur menghubungkan satu dengan yang lainnya.
Melintasi kawasan Kotabaru, kita tidak akan menemukan sebuah gang sempit yang biasa kita jumpai di tempat-tempat lain di kota Yogyakarta, perancangan awal kawasan ini berkonsep pola radial seperti kota-kota di Belanda pada umumnya, berbeda dengan wilayah yang lain di kota Yogyakarta masih menganut pola arah mata angin. Sebagai kota mandiri, setiap bangunan yang berada di kawasan Kotabaru memiliki aksesibilitas yang mudah untuk dijangkau, hal ini bisa dilihat dari sistem pembuatan jalan yang terstruktur menghubungkan satu dengan yang lainnya.
Berjalan menikmati setiap sudut kawasan Kotabaru, kita akan melihat bangunan kuno yang bertebaran bak cendawan di musim hujan. Gereja Santo Antonius Kotabaru adalah bangunan yang memiliki pola rancang bangun khas Eropa. Menara tinggi di bagian depan gerejea, tiang-tiang besar dari semen cor sebanyak 16 buah serta plafon berbentuk sungkup. Gereja Santo Antonius Kotabaru berdiri pada tahun 1926 merupakan metamorfosis dari Gereja Santo Antonius Van Padua. Perubahan nama ini tidak terlepas dari berkembangnya jamaah di rumah Mr Pequin (depan Masjid Syuhada) yang sudah melebihi kapasitas. Tidak jauh dari Gereja Santo Antonius, terdapat bangunan yang memiliki nilai sejarah yang tidak kalah tinggi adalah kantor Asuransi Jiwasraya. Pada jaman kolonialisme Belanda bangunan ini difungsikan sebagai rumah salah satu pegawai Asuransi Nill Maatschappij, dan pada periode pendudukan Jepang difungsikan sebagai tempat tinggal Butaico Mayor Otsuka, salah satu perwira tinggi angkatan bersenjata Jepang. Setelah kekalahan Jepang dalam melawan sekutu, bangunan ini menjadi tempat perundingan pelucutan senjata pada tanggal 6 Oktober 1945 yang dilakukan oleh Muhammad Saleh Bardosono dengan Butaico Mayor Otsuka.
Dinding-dinding bangunan masa lalu yang bertebaran di kawasan Kotabaru juga memiliki cerita sendiri, diantaranya SMU BOPKRI I yang digunakan sebagai gedung Christelijke MULO dan Akademi Militer, Gedung SMP 5 yang dahulu dipakai Normalschool, Gedung SMAN 3 sebagai gedung AMS, Gedung Kolese Santo Ignatius yang dulu digunakan sebagai kantor Kementrian Pertahanan dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta yang berlokasi di Jalan Suroto menjadi tempat berakhirnya gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman. Tidak ketinggalan pula sebuah bangunan besar dengan rancang bangun art deco yang berkembang pesat pada tahun 1920-1930an yaitu Gedung Bimo. Konsep art deco adalah aliran dalam dunia rancang bangun yang tetap mengutamakan unsur tradisional setempat dengan tetap terbuka pada hal baru dan disertai semangat untuk berbeda dari bangunan umum yang sudah ada.
Salah satu tempat yang menjadi salah satu perwajahan Kawasan Kotabaru adalah Jembatan Kewek. Jembatan penyeberangan yang melintasi Kali Code menghubungkan wilayah Stasiun Tugu dengan Kotabaru. Secara resmi jembatan ini dinamakan Kerkweg, karena banyak orang jawa kesulitan melafalkannya, namanya pun berubah menjadi Kreteg Kewek. Perkembangan jaman yang terus berubah tidak banyak merubah Kawasan Kotabaru yang selalu memberikan kenangan masa lalu dengan sistem tata kota yang bervisi kedepan dan fasilitas ruang publik yang tetap terjaga sampai sekarang.
Dinding-dinding bangunan masa lalu yang bertebaran di kawasan Kotabaru juga memiliki cerita sendiri, diantaranya SMU BOPKRI I yang digunakan sebagai gedung Christelijke MULO dan Akademi Militer, Gedung SMP 5 yang dahulu dipakai Normalschool, Gedung SMAN 3 sebagai gedung AMS, Gedung Kolese Santo Ignatius yang dulu digunakan sebagai kantor Kementrian Pertahanan dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta yang berlokasi di Jalan Suroto menjadi tempat berakhirnya gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman. Tidak ketinggalan pula sebuah bangunan besar dengan rancang bangun art deco yang berkembang pesat pada tahun 1920-1930an yaitu Gedung Bimo. Konsep art deco adalah aliran dalam dunia rancang bangun yang tetap mengutamakan unsur tradisional setempat dengan tetap terbuka pada hal baru dan disertai semangat untuk berbeda dari bangunan umum yang sudah ada.
Salah satu tempat yang menjadi salah satu perwajahan Kawasan Kotabaru adalah Jembatan Kewek. Jembatan penyeberangan yang melintasi Kali Code menghubungkan wilayah Stasiun Tugu dengan Kotabaru. Secara resmi jembatan ini dinamakan Kerkweg, karena banyak orang jawa kesulitan melafalkannya, namanya pun berubah menjadi Kreteg Kewek. Perkembangan jaman yang terus berubah tidak banyak merubah Kawasan Kotabaru yang selalu memberikan kenangan masa lalu dengan sistem tata kota yang bervisi kedepan dan fasilitas ruang publik yang tetap terjaga sampai sekarang.